Belajar Toleransi dari Bali
Berdasarkan hasil sensus penduduk
yang dilakukan Badan Pusat Statistik pada
tahun 2010 diketahui bahwa 87,18% dari
237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam. Hal ini
akan terasa nyata ketika anda berada di pulau Jawa atau Nanggroe Aceh
Darussalam serta beberapa provinsi lain di Indonesia yang terkenal dengan
banyaknya pemeluk Islam. Namun akan sangat berbeda saat anda mengunjungi
beberapa wilayah di Indonesia dengan populasi muslim yg lebih sedikit
dibandingkan agama yang menjadi mayoritas. Sebut saja Toraja yang mayoritas
penduduknya beragama Kristen atau Bali yang mayoritas warganya beragama Hindu.
Bicara tentang mayoritas, saya dan
keluarga sebagai pemeluk agama Islam berkesempatan untuk menjalankan satu bulan
puasa Ramadhan sekaligus hari raya Idul Fitri di Klungkung. Salah satu
kabupaten kecil di provinsi Bali dengan mayoritas
warganya beragama Hindu. Bagaimana rasanya? Luar biasa. Ada beberapa kejadian
yang sulit saya deskripsikan melalui kata. Saya pribadi mengalami banyak pengalaman baru dan pada waktu yang sama
merasa kehilangan kebiasaan-kebiasaan lama saat bulan Ramadhan tiba.
Sebagai contoh, di sana suara adzan nyaris tidak terdengar (hanya ada dua
masjid dan jaraknya cukup jauh dari tempat tinggal saya), tidak ada warga yang
keliling membangunkan sahur (saya sangat bergantung pada alarm. Lupa tidak
menyalakan alarm artinya tidak sahur), tidak ada pasar kaget yang dimulai sejak
sore hingga menjelang maghrib dan hanya bisa ditemui di bulan Ramadhan, tidak ada petasan
yang dinyalakan anak kecil pasca tarawih, dan yang paling sedih, saya nyaris
tidak mendengar takbir saat malam hari raya. Hiks.
Satu bulan menjadi minoritas di
kabupaten kecil dengan mayoritas warganya beragama Hindu mengajarkan saya
beberapa hal, salah satunya adalah tentang bagaimana saudara non muslim di
Klungkung mengamalkan nilai toleransi. Pernah suatu hari saya lewat di depan
Tante Jero (tetangga di Klungkung) yang sedang lunch. Saat Ia sadar saya didepannya, Tante Jero buru-buru
menyembunyikan makanannya sembari bilang maaf karena makan siang di depan rumah
saat bulan puasa. Saya mencoba meyakinkan Tante Jero bahwa hal itu tidak
masalah dan tidak mengganggu puasa saya sama sekali, tapi Tante Jero tetap
minta maaf berkali-berkali dan bilang harusnya Ia makan siang di dalam. Sampai
sekarang saya masih tidak habis pikir kenapa Tante Jero bisa sebegitu merasa
bersalah. Oh iya, saat Hari Raya, Tante
Jero juga menyiapkan hadiah lebaran berupa baju adat Bali untuk Alma, keponakan
saya yang berusia 2 tahun.
Kisah lain tentang toleransi juga
terjadi saat saya berkunjung ke kecamatan Nongan untuk menjenguk Pekak atau
kakek (mertua Tante Jero) yang sedang sakit. Saat itu saya hendak bersalaman
dengan Gung Ayu, kakak ipar Tante Jero. Namun, saat saya mengulurkan tangan,
Gung Ayu menolak dan bilang, ‘Maaf, ini tangannya bekas pegang daging babi,
kan di Islam tidak boleh ya?’. Saya sempat bingung harus menjawab apa sebelum
akhirnya mengangguk dan bilang
terimakasih karena sudah memberi tahu hal itu. Saya sangat terkejut melihat
Gung Ayu tahu dan menghormati apa yang saya percaya.
Pernah juga suatu hari saat saya dan
ibu berbelanja di Pasar Tradisional Galiran, Klungkung, kami berniat membeli
pie susu. Bapak penjual yang beragama hindu (terlihat dari tempat berdoa yang
ada di salah satu sisi kiosnya) tanpa diminta langsung menunjukkan pie yang berlogo
Halal. Lain cerita saat kami membeli cabai, mbok (panggilan Mbak bagi wanita
Bali) penjual cabai bahkan bertanya tentang berapa lama kami harus berpuasa.
Dia kaget saat mendengar jawaban kami, kemudian berkata bahwa dia belum tentu
sanggup puasa sebegitu lama. Terakhir, saat kami berhenti di salah satu kios
sayuran, mbok penjual sayur sempat bilang, ‘Jegeg betul pakai kerudung macam
ini’ (jegeg=cantik). Seumur-umur saya tidak pernah dipuji cantik secara
langsung oleh penjual sayur di pasar, hehehe.
Saya juga ingat saat saya dan umat muslim lainnya menjalankan ibadah
sholat Tarawih dan shalat Idul Fitri. Sejak rakaat pertama hingga sholat
berakhir, halaman masjid tempat kami sholat dijaga oleh polisi dan pecalang
(polisi adat bali, biasanya menggunakan pakaian hitam dan udeng atau ikat kepala
yang biasa digunakan pria Bali). Saat saya bertanya kenapa sampai harus dijaga
seperti ini pada salah satu pecalang, Ia menjelaskan bahwa polisi dan pecalang
ingin memastikan kami bisa beribadah dengan tenang, tanpa khawatir atau bahkan
terganggu dengan suara knalpot motor yang urakan. Well, menurut saya ini keren sekali. Mereka sama sekali tidak punya
kepentingan pribadi, tapi lihat apa yang mereka tunjukkan kepada kami, warga
minoritas. FYI, pecalang itu sama sekali tidak dibayar, lho. Mereka literally
mengabdikan diri.
Satu bulan menjadi minoritas membuat
saya sadar bahwa banyak sekali hal-hal yang bisa saya pelajari dari saudara non
muslim di Klungkung, kemudian diterapkan ketika saya kembali ke pulau Jawa dan
kembali menyandang status mayoritas. Satu bulan menjadi minoritas membuat saya
percaya bahwa membuat kaum minoritas merasa nyaman dan aman tinggal di tengah
kaum mayoritas akan membentuk nilai positif bagi kaum mayoritas itu sendiri. Pada
akhirnya saya belajar bahwa ketika minoritas bisa menempatkan diri tanpa
melanggar apa yang diyakini dan mayoritas bukan melulu tentang mendominasi lalu
mengesampingkan toleransi, maka ketentraman hidup dalam perbedaan akan
menampakkan wujudnya.
Klungkung, Bali.
Kios di Pasar Galiran dengan tempat berdoa di setiap sudutnya.
Sholat Ied di lapangan Puputan. Mayan banyak kan yak.
Fokus ke pecalang yang salaman sama salah satu jamaah setelah sholat Ied. Adem liatnya euy.
Gung Ayu. Ini pas beliau gak habis pegang babi :D
Baju adat Bali dari Tante Jero buat Alma.
Thank you Klungkung. Thank you Bali.
Comments
Post a Comment